Blogroll


ShoutMix chat widget

26 Mar 2010

OBROLAN SENSEI & GAKUSEI di SMA

Kadang-kadang kita ditanya ”Sudah berapa lama menjadi guru”? Pasti jawaban kita bermacam-macam. Ada yang lebih dari 25 tahun mengabdi sebagai pendidik. Ada yang di atas 10 tahun telah berkarya di dunia pendidikan. Namun ada juga yang baru menapaki jalan sebagai seorang guru. Berapa lamanya kita menjadi pendidik, sebenarnya bukan hal yang terlalu penting untuk dibahas apalagi dipermasalahkan dan diributkan. Bagiku, seseorang yang sudah berkomitmen untuk menjadi seorang guru atau dosen atau apalah namanya, entah baru mulai atau sudah menjadi senior, adalah seseorang yang dengan SADAR dan RELA untuk membagi ilmu kepada orang lain di manapun dia ditempatkan.

Namun dalam perjalanannya, tidak sedikit para guru yang mengalami frustrasi karena situasi dan perlakuan yang mungkin kurang mengenakkan dari lingkungan sekitar. Lingkungan itu bisa berwujud kondisi sekolah tempat mengajar (hubungan dengan sesama guru, murid, maupun dengan atasan yang kurang harmonis dan kurang menunjang keberadaannya) maupun masyarakat sekitar tempat tinggal sang guru.

Saya hanya ingin berbagi pengalaman yang pernah saya rasakan di awal perjalanan saya sebagai pendidik. Mengajar pertama kali secara resmi di sebuah sekolah SMA di Surabaya, ketika saya belum genap berusia 20 tahun. Yang dimaksud secara resmi di sini adalah status saya sebagai guru tidak tetap alias GTT di SMA tersebut, bukan sebagai pengajar ekstrakurikuler. Tetapi guru mata pelajaran (bidang studi) bahasa Jepang yang waktu itu diajarkan di jurusan Bahasa dengan waktu 9 kali tatap muka per minggu! Dengan gaji pertama saya sebesar Rp 72.000,-. Sekali lagi, 72 ribu RUPIAH, bukan YEN! Saya syukuri gaji sebesar (sekecil?!) itu sebagai berkat dari Tuhan. Saya bisa hidup di kota besar Surabaya! Sekalipun tahun-tahun itu adalah masa-masa krisis ekonomi panjang yang melanda Indonesia. Singkat cerita, tahun kedua di sekolah itu, saya dipercaya sebagai wali kelas jurusan Bahasa yang lengkap dengan lebel ”kelas anak-anak bandel, anak-anak buangan yang tidak mampu berprestasi” . Fenomena yang banyak kita dapati di mana-mana. Tapi.....apa iya mereka - mereka seperti yg dilabelkan oleh banyak orang tersebut????????????? 

Banyak pengalaman kurang mengenakkan yang saya alami walaupun tak sedikit juga berkat dan prestasi yang saya terima selama mengabdi sebagai guru SMA. Salah satu kejadian menggelikan ketika awal interaksi dan adaptasi di SMA. Beberapa murid yang memang usianya terpaut sedikit dengan saya, tak jarang meremehkan saya sebagai guru baru yang tidak punya pengalaman apa-apa, belum lagi senyum sinis yang ditujukan kepada saya karena saya memang lebih tepat menjadi teman bermain mereka atau teman sekelas mereka dibanding menjadi guru apalagi pembimbing mereka! Bila anda mengalami seperti saya, haruskah mundur dan memilih sekolah lain? Mundur bukanlah suatu pilihan yang tepat. Kalaupun kita memutuskan mundur atau keluar karena suasana yang tidak bersahabat, pasti di tempat ”pelarian yang baru” pun akan kita jumpai fenomena yang sama dengan versi berbeda yang bisa saja akan lebih parah daripada sebelumnya. 

Saya harus menentukan sikap dalam menghadapi murid yang berpandangan demikian. Berikut adalah langkah yang saya ambil:
1) Pertama, saya harus menyadari bahwa keberadaan saya di SMA ini adalah sebagai guru. Bukan kerjaan sambilan apalagi ’pilihan terakhir”. 
2) Kedua, saya menjadi guru karena memang saya mempunyai ilmu yang telah cukup untuk mengajarkan mata pelajaran yang sesuai dengan bidang dan keahlian saya. Jadi tidak ada alasan untuk minder atau takut ditolak hanya karena masalah usia dan pengalaman yang kurang.
3) Ketiga, saya berpedoman pada ajaran alam: orang dikatakan berpengalaman kalau dia telah benar-benar mengalami masalah yang sulit dan mau berusaha mencari penyelesaian atas masalah tersebut, dan bukan melarikan diri dari problem itu.

Peribahasa ”Tak kenal maka tak sayang” memang benar adanya. Bagaimana siswa atau murid saya mengasihi dan menuruti apa yang saya mau kalau mereka tidak mengenal saya? Bagaimana mereka mau mengenal saya kalau saya tidak lebih dulu mau mengenal mereka? Bagaimana mungkin kami bisa bekerja sama dalam PBM (proses belajar mengajar) kalau mereka tidak diberitahu bagaimana memulai sesuatu dengan rendah hati? Di sinilah ketahanan kita diuji dan dipertaruhkan. Kadangkala kita menjadi enggan karena merasa harga diri kita diremehkan dan sebagainya.

Saya ajak mereka untuk berbicara sebagai teman. Ya, sebagai teman! Karena dalam pikiran mereka, saya pada usia itu lebih pantas menjadi teman mereka. Berkorban sementara waktu, nggak apa-apa ’kan? Sepanjang hal itu tidak membuat kita sakit jantung dan mati mendadak. 

Kebetulan ada beberapa murid yang ikut dalam klub karate. Saya berusaha untuk menunjukkan minat dan antusias yang tinggi sewaktu mereka bercerita tentang klub karate mereka. ”Sensei, tau nggak? Klub karate tempat aku latihan itu, muridnya hebat-hebat lho! Seorang ’senpai’ ku masih berumur 17 tahun tapi sudah menyandang sabuk hitam dan II. Gile nggak, sensei?!” ucapnya dengan nada bangga. Sebetulnya murid tersebut sudah tahu jawabannya. Hanya saja dia tidak sadar akan apa yang dia ucapkan.

Saya mulai masuk melalui cerita mereka. Kata ’senpai’, ’sensei’ tidak asing bagi mereka yang belajar beladiri karate, kendo, aikido, kenpo yang berasal dari Jepang. ”Tahukah kalian, apa yang dimaksud SENPAI atau yang kau kenal dengan istilah senior? Senpai ( 先輩 ) dilihat dari huruf kanji pembentuknya, terdiri dari 2 kosakata: SEN ( 先 ) yang artinya lebih dulu, dan HAI atau PAI (輩 ) yang artinya punya posisi atau kemampuan. Jadi, yang kalian sebut sebagai SENPAI adalah orang yang lebih dulu mempunyai posisi atau kemampuan tertentu lebih dulu dari pada kemampuan yang kalian miliki saat ini. Kalian tetap mengakui keberadaannya sebagai Senpai atau senior kalian walaupun dia baru berumur 17 tahun ’kan? Mau atau tidak mau memang kalian harus mengakuinya. Di dalam falsafah karate yang juga kalian pelajari dan harus kalian pegang teguh, di sana juga mengajarkan untuk MENARUH HORMAT terhadap senior anda”. Mereka manggut-manggut mendengar ulasan saya.

Sekarang mulailah saya masuk lebih dalam kepada inti persoalan yang selama ini menjadi tembok pembatas antara saya dan murid-murid tersebut. ”Begitu juga dengan saya sebagai guru atau sensei kalian. Seorang dipanggil sebagai SENSEI karena sudah melewati proses untuk menjadi seorang pendidik, walaupun di tengah perjalanannya masih harus diuji dan disempurnakan lagi keilmuannya. Tetapi yang jelas, seorang GURU yang kalian panggil dengan sebutan SENSEI juga terlahir dari 2 suku kata yang masing-masing mempunyai arti : SEN ( 先 ) yang artinya LEBIH DULU, SEI ( 生 ) artinya LAHIR. Jadi, 2 kosakata yang ditulis dengan huruf kanji itu mempunyai makna yang sangat dalam. SENSEI berarti seseorang yang lahir lebih dulu atau seseorang yang lebih tua. Maksudnya adalah: orang yang lahir lebih dulu ilmunya. Tidak peduli orang tersebut usianya masih di bawah kita atau bahkan sama dengan kita. Adalah sikap yang sangat bijaksana, luhur dan terhormat, bila kita bisa menempatkan segala sesuatu pada tempat yang tepat. Kalian mengerti apa yang saya maksud ’kan?”.

Tanpa bermaksud menyombongkan diri, saya juga harus percaya diri bahwa walau usia saya boleh dikatakan sebaya dengan mereka waktu itu, namun saya adalah guru mereka. Saya tidak akan membiarkan mereka merusak aturan dan tidak menaruh hormat kepada seorang pendidik. Kalau mereka meremehkan saya hanya karena saya masih dianggap muda dan kurang pantas, tentu suatu saat mereka juga akan meremehkan para pendidik lain dengan alasan kurang pintarlah, kurang kreatiflah, kurang ini itulah dan sejuta macam alasan untuk pembenaran diri yang kerapkali kita dengar. 

Pembicaraan dari hati ke hati yang berlangsung sangat santai itu ternyata mampu merobohkan dinding pemisah dan meruntuhkan kesombongan murid-murid tersebut. Dan memang akhirnya mereka dengan segenap kerendahan hati belajar untuk mengakui saya sebagai guru mereka. Dan saya juga harus membalas jabat tangan mereka yang menginginkan saya menjadi guru sekaligus sahabat untuk maju bersama-sama. 

Itulah pengalaman indah bersama para murid di SMA, bahkan ada satu kenangan yang tidak akan pernah saya lupakan sepanjang hayat. Murid-murid saya, sebut saja B A, H, F, R, M , A, V, W, E, D berikrar untuk membawa kelas jurusan bahasa SMA mereka untuk meraih predikat YANG TERBAIK. Pertama saya sempat heran....nggak salah tuh anak-anak?! Tapi itulah kenyataannya. Tak ada alasan untuk berkata tidak. Maka saya dan mereka membuat janji untuk tampil beda! Melupakan segala yang pernah terjadi di masa lalu. Sejak itu kami menjadi satu tim. Bekerja keras, berlatih dengan tekun untuk satu tujuan: menunjukkan eksistensi kelas jurusan bahasa supaya diakui keberadaanya. Bukan diakui kenakalannya, tapi kami juga ingin menorehkan sejarah bagi sekolah kami.

Suatu event di bulan Maret 2000. Kami ikut dalam kompetisi bahasa Jepang untuk pelajar SMA se Jawa Timur yang diselenggarakan oleh sebuah universitas ternama di Jawa Timur yang mempunyai jurusan bahasa Jepang. Dari 8 lomba yang dipertandingkan di hari Minggu itu, siswa-siswa kami menyapu bersih juara 1 dan 2 untuk semua lomba yang diadakan dan dinobatkan sebagai juara umum. Rasa bangga dan haru bercampur menjadi satu. Gelak tawa mereka sempat saya dengar ketika waktu itu wartawan mewawancarai mereka dan menanyakan siapa pembimbing mereka. Sang wartawan juga terkejut waktu melihat saya yang mendampingi mereka bertanding tak ubahnya seperti murid-muridku yang bertanding hari itu. Keraguan dan rasa tidak percaya sempat terlontar dari para wartawan itu. Saya tidak ambil pusing. Karena itu sudah di luar urusan saya.

Hari Minggu yang panas berubah menjadi persahabatan indah yang mempersembahkan piala kemenangan dari ”anak-anak bandel kelas bahasa” yang berusaha untuk mengharumkan nama sekolah melalui bahasa Jepang yang mereka tekuni.

”Sensei, Anda memang akan menjadi sensei kami sampai kapanpun. Anda telah mengajarkan kepada kami untuk menghargai seorang guru. Anda jugalah yang mengakui kami apa adanya sebagai saudara dan teman yang penting bagi Anda, dan terima kasih telah mempercayai kami bahwa kami mampu melakukan yang terbaik, di saat banyak pihak meragukan kemampuan dan keberadaan kami. ” itulah ucapan B A yang aku rekam baik-baik dalam otakku. 

Teman-temanku yg terkasih, janganlah kita menjadi rendah diri hanya karena merasa kurang berpengalaman. , dan juga janganlah kita merasa patah semangat hanya karena sudah lelah atau merasa "tidak nutut" alias merasa ketinggalan teknologi modern. Hal itu bisa diatasi selagi kita mau. Saya pun juga belajar (tepatnya; DIAJARI) dari mahasiswa dan para murid tentang banyak hal yang berhubungan dengan teknologi komputer. Para mahasiwa dan murid-murid itu juga merupakan guru saya. Dan kepada murid-murid terkasih, janganlah merasa pintar dan enggan mengakui keberadaan gurumu hanyalah karena dia atau mereka masih muda dan kurang pengalaman. Mari kita ingatl kembali masa lalu ketika kita ”masih belum bisa apa-apa”. Janganlah menjadi orang pintar tapi tidak bermoral dan tidak tidak punya kasih. MENGHORMATI PEMBIMBING KITA adalah salah satu bentuk dari KASIH YANG NYATA. 

Saya masih ingat saat embah, engkong, kakek saya mengajarku untuk BERBAGI DAN SALING MELENGKAPI DENGAN RENDAH HATI......ternyata memang bauhnya, eh buahnya sangat manis untuk dirasa dan dikenang ...bahkan untuk dibagikan kembali !!

Saya memang tidak cukup pengalaman ketika mengajar di SMA, tetapi Tuhan mengizinkan saya mengalami proses kedewasaan bersama-sama dengan murid-murid saya. Di mana saya harus meredam amarah dan emosi ketika jiwa saya bersinggungan dengan murid-murid yang juga sama emosinya dengan saya waktu itu. Terima kasih Tuhan, untuk pengalaman indah ini. Terima kasih kepada suster kepala sekolah yang memberikan padaku "tempat bermain dan belajar" serta mempercayakan pengasuhan murid-murid kepadaku tanpa sedikit ragu walau aku belum mampu waktu itu. Terima kasih kepada murid-muridku SMA......memang betul, nggak ada loe nggak rame, nggak mengenal kalian sebelumnya....saya juga tidak mungkin mewarnai hidupku. Saya menulisnya karena tiba-tiba terkenang masa-masa mengajar di SMA di Surabaya. 


Tokyo, 2010年3月13日(土曜日)
By; Baby Anis Karyawati
Pengganti waktu mblakrak yg nggak jadi kulakukan karena angin ribut di luar.

0 comments:

Posting Komentar

K O M E N T A R