Untuk mantan murid-murid SMA di Surabaya & Malang
serta mahasiswa yg pernah melewatkan waktu bersamaku di Malang
Alangkah nikmatnya secangkir teh panas! Entah itu teh manis atau teh tawar. Apalagi bila meminumnya saat hujan. Suatu ritual yang sangat eksotik dan melegakan bagi setiap kenikmatannya! Kapan kita minum teh? Pagi? Istirahat siang? Menjelang senja? Yang pasti, secangkir teh tak kan protes kapan pun kita mau minum. Kadang kita menikmati secangkir teh di rumah bersama keluarga, sebelum memulai aktivitas harian. Atau mungkin kita menikmatinya di kantor yang disediakan oleh ”petugas khusus” sebelum mulai bekerja”Di mana kita minum secangkir teh dan bersama siapa” memang tidak perlu dijawab, tapi mari kita renungkan. Pernahkah kita mengajak anak didik minum teh bersama? Pernahkah kita membuatkan secangkir teh untuk mereka? Pasti jawabannya TIDAK PERNAH atau YA PERNAH tidak peduli berapa besar prosentase pernahnya.
Suatu hari, saya mengajak murid melakukan hal yang tidak biasa di kelas, yaitu minum teh bersama. Saat itu, saya memang ingin membuat teh untuk mereka. Tapi hal itu bukan untuk mencari perhatian!! Entah kenapa, saya memang benar-benar ingin membuatkan teh untuk mereka. Dan yang jelas, mereka tersenyum heran ketika saya katakan, ”Douzo, nonde kudasai!” (silakan minum) sambil saya sodorkan secangkir teh panas untuk mereka. ”Sensei (demikian mereka memanggil saya), ada yang istimewa ya hari ini? Tumben! Ini waktunya pelajaran pula.... Sensei ulang tahun ya?”
Belum hilang rasa heran mereka, saya membuat teh lagi. Tapi kali ini saya mengajak beberapa orang untuk membuat bersama-sama. Membuat teh! Tepatnya, melihat aktivitas saya menuangkan air mendidih pada daun-daun teh kering di dalam gelas dan mengamatinya sambil menunggu teh itu siap diminum (karena orang Indonesia tidak terbiasa minum teh atau kopi dalam keadaan panas-panas). Saya ingin mereka ikut mengamati proses perubahan warna air mendidih yang telah mereka tuangkan dalam gelas masing-masing. Hanya itu. Sederhana ’kan?
Saya juga menuangkan ”air yang lain” ke dalam gelas lain yang berisi daun-daun teh kering. Saya katakan, ”Saya juga ingin minum teh yang sama dengan kalian. Teh kalian yang telah dituangi air mendidih, benar-benar mempunyai rasa teh! Sedangkan teh saya yang dituangi air hangat atau hampir dingin, tidak berasa teh seperti yang saya harapkan.
Mereka mulai mengamati sendiri, hingga akhirnya sampai pada suatu kesimpulan yang mereka buat: ”Benar ya Sensei, bahwa kekuatan teh yang sebenarnya akan muncul kalau dituangi air mendidih. Teh milik Sensei hampir tidak menyerupai teh walaupun daun-daun teh yang kita gunakan sama. Teh kami enak, tapi teh Sensei tidak ada rasanya”. Itulah ucapan jujur mereka.
Saya tidak pandai berteori dan menciptakan kata-kata bijak untuk mahasiswa atau murid saya. Tetapi saya suka menyampaikan konsep pembelajaran dari alam, yang sangat sederhana, mudah dipahami dan diterapkan. Hal ini dilakukan untuk memberikan keseimbangan antara perkembangan nilai akademik dengan perkembangan pribadi pembelajarnya. Hal ini dipandang perlu dilakukan karena melihat banyaknya ketimpangan yang terjadi pada dunia pendidikan yang seakan sulit sekali ditanggulangi. Diantaranya adalah cara-cara tidak jujur (nyontek), mau menang sendiri, menyukai jalan pintas tanpa kerja keras dan kerja smart tetapi ingin mendapatkan hasil akhir yang bagus. Walau sebenarnya mereka tahu bahwa ”No pain no gain” adalah benar adanya, namun untuk mengaplikasikan peribahasa Inggris tersebut dalam kehidupan sehari-hari masih sangat sulit bagi sebagian orang.
Dalam perjalanannya, tidak sedikit mahasiswa atau siswa yang beranggapan bahwa pendidikan bahasa Jepang di sekolah maupun universitas sarat dengan shukudai (pekerjaan rumah) dan sangat melelahkan. Meskipun jerih payah itu telah membawa hasil bagi mereka, namun fenomena ’sulit dan melelahkan’ seakan menjadi ’pakaian satu-satunya’ yang enggan mereka lepas. Pengenalan konsep pembelajaran dari alam adalah salah satu alternatif untuk mengubah paradigma tersebut.
Apa moral yang terkandung dalam proses pembuatan teh untuk untuk diminum di kelas? Sebenarnya hal tersebut mengajarkan secara langsung kepada anak didik kita tentang konsep hidup yang sederhana namun sarat makna. Daun-daun teh itu adalah kita. Air panas mendidih adalah tempaan hidup dan perjuangan yang keras. Dituangi air panas identik dengan didikan yang keras dan tidak nyaman (bagi banyak orang) sehingga kita terus ’menggeliat’ seperti daun teh yang dituangi air mendidih itu. Menggeliat dan terus berkembang terus berkembang hingga benar-benar menyerupai apa yang disebut sebagai teh (baca: kemampuan) yang sebenarnya. Maksudnya : bila kita ingin berhasil, harus MAU dan RELA dididik dan ditempa.
Bagaimana dengan daun teh yang dituangi air hangat atau dingin? Air dingin ibarat hal-hal yang menyejukkan dan enak untuk dirasakan. Seperti halnya ’zona kenyamanan’ kita yang enggan kita tanggalkan sejenak demi meraih keberhasilan nantinya. Mahasiswa atau siswa yang enggan berusaha ’ekstra’ untuk kemajuannya sendiri, dia tak ubahnya seperti orang yang ’jalan di tempat’. Tidak akan pernah berhasil walaupun dia mempunyai segudang ”benih-benih” yang menjadi cikal bakal keberhasilan mereka.
Mengamati kejadian tersebut, saya dan mereka menyepakati suatu kesimpulan bahwa ”Kekuatan TEH yang sebenarnya akan muncul, HANYA bila dituangi AIR PANAS MENDIDIH”.
Rekan-rekan mahasiswa dan murid-muridku yg terkasih, yuk kita menjadi seperti teh yang diseduh air mendidih, yang akan menunjukkan rasa teh yang sebenarnya. Sedangkan teh yang diseduh dengan air dingin, dia tak berubah warna dan rasa. Yuk kita belajar secara sadar, lebih giat dan smart hingga mampu menunjukkan kemampuan Anda yang sesungguhnya. Tuhan menciptakan Anda luar biasa adanya. Bukan nilai yang harus kita cari, tapi bagaimana Anda dan saya memaknai apa yang kita lakukan. karena nilai adalah sebuah BONUS dari apa yang telah kita kerjakan.
Selamat belajar!
Baby Anis - Koran Pendidikan (26 Nopember 2008)
Tokyo, 2010年3月21日(土曜日) - 編集
0 comments:
Posting Komentar
K O M E N T A R